Dalam hubungan industrial, terjadinya PHK merupakan hal yang sebaiknya dihindari. Kendati demikian jika sudah dilakukan berbagai upaya dan PHK itu tidak bisa dihindari maka dalam pelaksanaan prosedur PHK harus dilakukan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Sebab pada beberapa alasan, perusahaan dilarang melakukan PHK kepada pekerjanya. Lantas bagaimana prosedur melakukan PHK yang sesuai dengan regulasi? Simak ulasannya di bawah ini.
Table of Content
Alasan PHK pekerja
Dalam prosedur PHK yang sah, perusahaan tidak boleh melakukan PHK kepada pekerja karena alasan tertentu. Menurut pasal 153 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, perusahaan dilarang melakukan PHK dengan alasan:
- Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.
- Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
- Menikah.
- Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
- Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
- Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
- Pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
- Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
- Adanya perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
- Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Dengan demikian berdasarkan alasan-alasan di atas, perusahaan tidak boleh melakukan PHK kepada pekerjanya. Prosedur PHK hanya boleh dilakukan dengan alasan yang diperbolehkan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 36 PP No. 35 Tahun 2021:
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
- Perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja.
- Perusahaan melakukan efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian.
- Perusahaan tutup yang disebabkan oleh perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama tahun.
- Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure).
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
- Perusahaan pailit.
- Pekerja mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pengusaha melakukan penganiayaan, menghina secara kasar, dan menyuruh pekerja melakukan perbuatan yang dilarang peraturan perundang-undangan.
- Perusahaan telat membayar upah selama 3 bulan berturut turut, tidak melaksanakan kewajibannya, memerintahkan pekerja melakukan pekerjaan di luar perjanjian, dan memberikan pekerjaan yang membahayakan pekerja.
- Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
- Pekerja resign atas kemauannya sendiri.
- Pekerja mangkir selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan dan telah dilakukan pemanggilan secara sah dan patut sebanyak 2 kali.
- Pekerja melakukan pelanggaran.
- Pekerja tidak bisa melakukan pekerjaannya selama 6 bulan karena ditahan akibat diduga melakukan tindak pidana.
- Pekerja sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak bisa melakukan pekerjaannya melampaui batas waktu 12 bulan.
- Pekerja memasuki usia pensiun.
- Pekerja meninggal.
Prosedur PHK pekerja
Untuk melakukan PHK, harus didasari dengan alasan-alasan sebagaimana yang sudah disebutkan dalam pasal 36 PP No. 35 tahun 2021. Jika PHK dilakukan dengan alasan-alasan yang dilarang oleh undang-undang maka penetapan PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja itu kembali.
Sedangkan jika berdasarkan alasan yang diperbolehkan maka dalam pelaksanaanya harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Berdasarkan amanat dalam UU ketenagakerjaan, pengusaha, pekerja dan serikat pekerja wajib mengupayakan PHK tersebut tidak terjadi. Namun pada kondisi tertentu dimana PHK tersebut tidak dapat dihindari maka prosedur PHK tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memberikan Surat Pemberitahuan
PHK harus didahului dengan memberikan surat pemberitahuan secara sah sah dan patut mengenai maksud dan alasan PHK kepada pekerja atau serikat pekerja jika pekerja tersebut merupakan anggota serikat pekerja. Pemberian surat ini paling lama adalah 14 hari kerja sebelum PHK.
Untuk pekerja yang masih dalam masa percobaan, maka perusahaan juga wajib memberikan surat pemberitahuan apabila terjadi PHK. Surat tersebut diberikan paling lama 7 hari sebelum PHK.
2. Musyawarah dengan Pekerja
Setelah memberikan surat pemberitahuan maka langkah selanjutnya adalah merundingkan keputusan PHK tersebut dengan serikat pekerja atau pekerja secara langsung. Jika pekerja menerima keputusan tersebut maka pekerja secara sah di PHK.
Namun, jika pekerja menolak keputusan tersebut maka pekerja bisa melakukan beberapa upaya untuk mempertahankan pekerjaannya. Berikut ini adalah upaya yang bisa dilakukan karyawan:
- Mengajukan surat penolakan paling lambat 7 hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan.
- Setelah itu pengusaha dan pekerja melakukan perundingan bipartit.
- Apabila tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian PHK ini dilakukan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
- Pengusaha baru bisa melakukan PHK kepada karyawan apabila sudah mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan industrial.
Nah, itu tadi adalah prosedur PHK yang sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dengan demikian pengusaha tidak bisa sembarangan melakukan PHK kepada karyawannya tanpa alasan yang jelas. Sebab jika terjadi demikian maka keputusan PHK tersebut batal demi hukum.