
Setiap bisnis memiliki rahasia dagang dan strategi yang tidak bisa disebarkan ke publik. Namun, terkadang terdapat potensi kebocoran rahasia tersebut dari “mantan” karyawan. Salah satu cara yang kerap digunakan untuk mengantisipasinya adalah dengan mencantumkan Non-Competition Clause atau klausul larangan bersaing dalam perjanjian kerja.
Namun, pertanyaannya, apakah klausul tersebut sah dan dibolehkan dalam hukum Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini secara komprehensif, kita perlu melihat dari perspektif hukum perdata, hukum ketenagakerjaan, hingga prinsip keadilan dalam hubungan kerja. Yuk, simak penjelasannya.
Table of Content
Pengertian Non-Competition Clause
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukumnya, pahami terlebih dahulu pengertian dari Non-competition clause. Mengutip dari laman Mahkamah Agung, Mahkamah Agung melalui Jurnal Garda Peradilan Mahkamah Agung: Indonesia Law Report (ILR) Volume 1 Nomor 1, menetapkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3549 K/Pdt/2023 sebagai salah satu putusan yang memiliki kaidah hukum penting mengenai klausul non-competition clause dalam perjanjian kerja.
Klausul ini sendiri adalah ketentuan yang melarang mantan karyawan untuk bekerja atau membuka usaha di bidang yang sama atau sejenis dengan perusahaan tempat ia sebelumnya bekerja, dalam jangka waktu tertentu setelah berakhirnya hubungan kerja. Tujuan utama dari klausul ini adalah untuk melindungi rahasia dagang, data pelanggan, strategi bisnis, dan kepentingan komersial perusahaan dari penggunaan oleh mantan karyawan yang mungkin telah memiliki akses terhadap informasi-informasi tersebut.
Hukum Non-Competition Clause Menurut UU
Hukum Indonesia tidak secara eksplisit mengatur non-competition clause dalam peraturan ketenagakerjaan seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang telah sebagian diubah oleh UU Cipta Kerja). Namun, jika dihubungkan dengan UU Ketenagakerjaan dalam pasal 31 menyebutkan bahwa:
“Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.”
Selain itu dalam konteks HAM, setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 38 ayat 2 UU HAM:
“Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”.
Dengan dasar ini banyak yang yang beranggapan bahwa non competition clause bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Namun, jika dilihat dalam pasal 1338 KUHPer yang menentukan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Pasal ini memberi ruang kepada para pihak dalam perjanjian kerja untuk mengatur hak dan kewajiban mereka, selama tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan. Artinya, non-competition clause pada prinsipnya diperbolehkan, sepanjang disepakati secara sah dan memenuhi asas-asas kontrak yang sehat.
Putusan Mahkamah Agung Tentang Non Competition Clause
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa MA melalui Jurnal Garda Peradilan Mahkamah Agung: Indonesia Law Report (ILR) Volume 1 Nomor 1, menetapkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3549 K/Pdt/2023 sebagai salah satu putusan yang memiliki kaidah hukum penting mengenai klausul non-competition clause dalam perjanjian kerja. Dalam perkara tersebut penggugat (Perusahaan bidang lift dan elevator) menggugat mantan karyawannya yang bekerja di perusahaan kompetitor.
Diketahui bahwa sebelumnya karyawan tersebut telah menandatangani perjanjian kerja yang mencantumkan non competition clause selama 12 bulan setelah keluar dari perusahaan. Namun, mantan karyawan tersebut justru melanggarnya.
MA mengabulkan permohonan penggugat dan hakim secara tegas menyatakan bahwa tergugat melakukan wanprestasi. Keputusan tergugat yang langsung bergabung ke perusahaan kompetitor tanpa menunggu waktu 12 bulan, menunjukkan bahwa secara sandar tergugat mengabaikan isis perjanjian kerja dan diduga kerja tergugat membocorkan rahasia dagang perusahaan sebelumnya.
Putusan MA ini memberikan kaidah baru mengenai isu non-competition clause bahwa larangan ini bukan termasuk pelanggaran HAM dan UU ketenagakerjaan namun termasuk dalam ranah rahasia dagang. Perlindungan terhadap rahasia dagang ini meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi.
Syarat Agar Non-Competition Clause Dianggap Sah
Meski diperbolehkan secara prinsip, namun untuk memastikan klausul non-kompetisi dianggap sah dan dapat ditegakkan secara hukum, klausul ini harus memenuhi beberapa syarat. Berikut adalah syarat yang harus dipenuhi:
1. Ada Kepentingan yang Dilindungi
Perusahaan harus memiliki alasan yang sah mengapa membatasi karyawan. Biasanya alasan ini adalah untuk melindungi rahasia dagang, data pelanggan, inovasi teknologi, atau strategi bisnis yang sensitif.
2. Bersifat Proporsional
Larangan tidak boleh berlebihan. Artinya:
- Durasi waktu harus masuk akal (umumnya 6 bulan sampai 12 bulan),
- Wilayah larangan tidak boleh mencakup seluruh Indonesia jika hanya relevan di satu kota/provinsi,
- Lingkup usaha harus jelas (misalnya hanya melarang bekerja di perusahaan sejenis dalam bidang tertentu).
3. Tidak Menghalangi Hak Dasar Pekerja
Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.” Klausul non-kompetisi tidak boleh sampai menghalangi karyawan untuk mencari nafkah, terutama jika tidak ada kompensasi atau ganti rugi dari perusahaan selama masa larangan.
4. Adanya Kompensasi
Dalam praktik internasional, klausul larangan bersaing lebih dapat diterima jika disertai kompensasi. Misalnya, di negara Jerman karyawan harus dibayar setidaknya 50% dari total pendapatannya di tahun sebelum PHK selama periode pembatasan.
Meski tidak diatur secara eksplisit dalam UU Ketenagakerjaan, prinsip kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata dan praktik peradilan menunjukkan bahwa Non Competition Clause ini sah asal tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau merugikan secara sepihak.
Namun, karena isu ini cukup sensitif dan kompleks, perusahaan maupun pekerja perlu memahami hak dan kewajibannya secara jelas. Pendekatan dialogis dan profesional akan jauh lebih efektif daripada sekadar memaksakan klausul yang mungkin berujung pada sengketa hukum.
Intensive HR Training, Belajar HR Bareng Profesional!
Untuk mengoptimalkan pengelolaan HR di perusahaan perlu memiliki talent-talent HR yang profesional. Oleh karena itu, untuk menjadi HR yang next level dan memiliki pemahaman yang menyeluruh seputar HR, yuk belajar HR hanya di Kelas HR. Dengan 50++ kelas yang bisa diikuti, kamu bisa belajar HR dari A-Z dan bergabung dengan grup profesional HR dari seluruh Indonesia. Ada kelas gratis juga tiap bulan, lho !
Jadi, tunggu apa lagi?
Kelas HR
Grow Together