fbpx
Skip to content

3 Mitos Fenomena “Kutu Loncat” dan Dampaknya di Dunia Kerja

3 Mitos Fenomena “Kutu Loncat” dan Dampaknya di Dunia Kerja

Kutu Loncat merupakan istilah yang disematkan kepada karyawan yang sering berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam waktu yang singkat. Fenomena kutu loncat ini menjadi perhatian khusus bagi para recruiter dalam menyeleksi karyawan yang akan masuk ke perusahaan. 

Karyawan yang dilabeli sebagai kutu loncat, seringkali dihakimi sepihak sebagai karyawan yang tidak loyal, memiliki kinerja yang kurang baik, tidak memiliki tujuan yang jelas. Lantas benarkah demikian? 

Pengertian Fenomena “Kutu Loncat”

Memiliki banyak pengalaman kerja di berbagai perusahaan ternyata tidak cukup untuk menarik perhatian HR. Hal itu justru bisa membuat karyawan dicap sebagai “kutu loncat” dan kandidat yang red flag. 

Istilah kutu loncat disematkan kepada karyawan yang sering berpindah-pindah kerja dalam waktu singkat. Alasan dibalik tindakan tersebut beragam, mulai dari mencari pengalaman baru, lingkungan kerja yang lebih baik, mencari tantangan, maupun faktor gaji. 

Fenomena kutu loncat disebut juga dengan istilah job hopping. Mengutip dari Indeed, job hopping adalah praktik yang sering dilakukan karyawan yang memegang pekerjaan dalam waktu singkat. 

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini menjadi hal yang umum terjadi. Seiring dengan berkembangnya perubahan pasar, dan teknologi, peluang untuk pekerjaan lebih terbuka lebar, hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyak karyawan berganti karir dalam waktu singkat.

Namun hal tersebut seringkali menjadi kekhawatiran bagi para rekruter. Memiliki pengalaman kerja yang singkat dan sering berpindah-pindah bisa menjadi tanda red flag bagi rekruter. 

Gen Z Si Kutu Loncat

Dunia kerja saat ini didominasi oleh Gen Z. Berdasarkan data dari Sensus penduduk oleh BPS pada tahun 2020, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia didominasi gen Z dan milenial yang masuk dalam usia produktif. 

Masuknya gen Z ke dunia kerja membawa banyak perubahan. Mereka memiliki cara kerja dan perspektif yang  berbeda tentang dunia kerja. Generasi ini bahkan dianggap kurang “tahan banting” dan mudah resign sehingga dilabeli sebagai kutu loncat. 

Padahal gen Z memiliki karakter yang unik. Lahir sebagai native digital membuat gen Z sudah terbiasa dengan teknologi sejak kecil, hal ini membuat kepribadian mereka berbeda dengan generasi lainnya. 

Dalam dunia kerja, gen Z dianggap sebagai generasi yang lemah dan tidak memiliki motivasi bekerja. Padahal berdasarkan hasil survei dari Randstad work monitor 2022, 68% gen Z dan milenial menganggap pekerjaan adalah hal yang penting dalam hidup. Namun, kebanyakan gen Z melakukan resign karena ada beberapa alasan di atasnya adalah:

  • Tidak ada work life balance.
  • Perusahaan tidak memiliki value yang sesuai dengan diri karyawan.
  • Tidak ada fleksibilitas jam kerja. 
  • Tidak ada peningkatan karir yang jelas. 
  • Gaji yang tidak sesuai.

Anggapan Tentang Karyawan “Kutu Loncat”

Menjadi karyawan kutu loncat sebenarnya tidak selalu buruk. Kendati demikian masih banyak yang beranggapan buruk terhadap karyawan jenis inni. Nah, berikut ini adalah beberapa anggapan yang sering disematkan kepada karyawan kutu loncat:

1. Tidak Loyal

Mitos pertama tentang karyawan kutu loncat adalah dianggap tidak loyal karena sering berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya dalam waktu singkat. Faktanya, loyalitas karyawan tidak hanya bisa diukur dari lamanya mereka bekerja di satu perusahaan. Mengutip dari In Moment, loyalitas karyawan mengacu pada komitmen, dedikasi dan kesetiaan yang menghasilkan produktivitas serta motivasi lebih untuk menyelesaikan pekerjaan melebihi ekspektasi yang diharapkan. 

Karyawan yang loyal adalah aset berharga bagi perusahaan. Namun loyal tidak hanya sebatas bekerja lama di suatu perusahaan. Loyalitas juga bisa ditunjukkan melalui dedikasi mereka dalam pekerjaan selama mereka berada di suatu perusahaan. 

Karyawan yang sering berpindah kerja mungkin mencari lingkungan yang lebih cocok dengan nilai dan tujuan pribadi mereka, atau mencari kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan karir mereka. Dalam dunia kerja yang dinamis saat ini, pindah kerja bisa menjadi strategi untuk pengembangan profesional yang lebih cepat dan sesuai dengan aspirasi karir.

2. Tidak Memiliki Tujuan yang Jelas

Selanjutnya, karyawan yang sering berpindah pekerjaan dianggap sebagai karyawan yang tidak memiliki tujuan karir yang jelas dan hanya mencoba-coba. Padahal beralih pekerjaan bisa jadi adalah bagian dari rencana karir yang sangat terstruktur. 

Karyawan kutu loncat mungkin memiliki tujuan jangka panjang yang jelas dan menggunakan setiap posisi baru untuk mendapatkan keterampilan, pengalaman, dan jaringan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Pindah kerja bisa menjadi cara yang meningkatkan karir dan kesejahteraan yang diharapkan.

3. Egois

Terakhir, karyawan yang sering pindah kerja dianggap egois karena lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan perusahaan. Keputusan untuk berpindah pekerjaan sering kali didasarkan pada pertimbangan yang kompleks, termasuk kebutuhan untuk pertumbuhan profesional, kesejahteraan pribadi, dan work life balance. 

Menilai seseorang sebagai egois karena mencari kesempatan yang lebih baik atau lingkungan kerja yang lebih sehat tidaklah adil. Sebenarnya, mencari posisi yang lebih cocok dan memuaskan dapat membuat karyawan lebih produktif dan berkontribusi lebih besar di tempat kerja baru mereka. Lagipula, karyawan yang merasa dihargai dan puas dengan pekerjaan mereka cenderung lebih bersemangat dan termotivasi.

Nah, itu tadi adalah penjelasan singkat mengenai fenomena kutu loncat yang banyak terjadi di kalangan gen Z. Meski sering dicap buruk, ternyata tidak semua karyawan kutu loncat sesuai dengan anggapan yang selama ini ada di masyarakat.

Kelas HR
Grow Together

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 Mitos Fenomena “Kutu Loncat” dan Dampaknya di Dunia Kerja
× Chat Admin Kelas HR